Boleh Minta Foto, Kak?
Saya tak masalah diminta foto, terutama karena nampaknya menulis lagu yang dengan jelas mengatakan bahwa hal ini sering menjadi stressor dan menganggu psikis saya tidak memiliki pengaruh apa-apa sama sekali (padahal dinyanyikan kencang-kencang oleh penonton). Saya paham dan dapat membayangkan posisi mereka: mungkin berpikir bahwa belum tentu dapat bertemu lagi, mungkin merasa momennya sedang tepat. Selama diminta dengan sopan, tak apa-apa.
Kata kuncinya satu: sopan. Bahkan di saat saya tak masalah, belum tentu hal ini tidak menganggu orang-orang sekitar saya, dari kerabat terdekat hingga anggota tim. Malam sebelum saya menulis ini, ada beberapa orang yang memaksa hingga mendorong dan mencakar keamanan dan anggota tim untuk mendapatkan foto; tangan saya digenggam kencang sekali dengan paksa hingga memar, dan mencegat dengan cara mendorong kami secara fisik di depan muka agar mendapatkan perhatian.
Pernah juga sekali saya dicegat di elevator sebuah mall, oleh laki-laki, mulutnya sumpah sangat bau alkohol, teriak-teriak berkata “mas Hindia kan! Iya kan!” hingga semua orang menoleh dan sadar, lalu melantur kurang jelas ingin menyampaikan apa sebelum meminta foto. Saat itu saya sedang menggunakan masker. Tentu saat itu pasangan saya sangat tidak nyaman, begitu juga dengan saya, sama sekali tidak ingin memberikan foto tapi saya takut dia akan bertingkah aneh lagi dan ‘make a scene’ di publik jika saya tolak.
Suatu hari saya pernah diajak foto saat sedang pipis di urinoir. Ada juga penonton yang kaki dan tangannya sampai masuk mobil agar saya tidak dapat pergi dari parkiran.
Ini adalah sebagian dikit contoh-contoh ekstrim, di luar hal-hak kecil yang kadang menganggu, kadang tidak (tergantung hari baik) seperti ditodong untuk mengucapkan sesuatu yang saya tidak mengerti konteksnya atau artinya sama sekali dan direkam, mengulang foto hingga sepuluh kali karena yang minta tidak pede dengan hasilnya, dan lain-lain.
Kadang jika saya sedang santai dan ada yang meminta foto, suka dengan iseng saya tanya balik, “mau minta foto atau kita ngobrol aja di sini temenin saya nongkrong?”, dan 90% jawabannya selalu meminta foto. Padahal mungkin kesempatan bercakap-cakap cukup lama ini tidak akan hadir lagi di kemudian hari, namun sepertinya kita semua sudah sebegitunya hidup dalam kendali media sosial sehingga apapun harus ada ‘bukti’ karena temanmu tidak akan percaya kamu bertemu Hindia jika tidak ada fotonya. Terkadang kita lebih mementingkan opini orang lain dibanding pengalaman untuk diri sendiri.